Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.
Abstrak:
Pengaturan pasal di RUU KUHP terkait perbuatan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat presiden mendapat kritik. Pasal tersebut dinilai berpotensi mengancam hak atas kebebasan berpendapat dan kebebasan pers yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi. Di sisi lain, pembentuk undang-undang juga memiliki raison d’etre yang merupakan urgensi pengaturan pasal. Artikel ini bertujuan untuk mengupas secara mendalam arti penting dari pengaturan substansi pasal tersebut, sekaligus mengkaji bagaimana potensi persinggungan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Kajian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, dengan metode analisis data yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. Hasil analisis menunjukkan bahwa pasal mengenai perbuatan penyerangan harkat dan martabat presiden atau wakil presiden masih tetap diperlukan/urgen untuk diatur kembali dalam RUU KUHP. Namun dengan catatan, perlu penyesuaian terhadap beberapa penjelasan pasal. Selain itu, bahwa secara umum, konstruksi pasal-pasal tersebut tidak dapat dikatakan telah menyalahi prinsip-prinsip HAM terkait hak atas kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Namun demikian, jaminan perlindungan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers masih tetap perlu dipertegas dalam RUU KUHP. Karena kenyataan di lapangan selama ini, menunjukkan masih ada terjadi salah penerapan dalam penegakan hukum terkait pasal-pasal sejenis pasal penghinaan
Penulis: Peter Jeremiah Setiawan
Abstrak:
Salah satu kekhususan dalam tindak pidana KDRT terletak pada ketentuan Pasal 55 UU PKDRT. Pasal tersebut mensyaratkan minimal alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu cukup dengan keterangan saksi korban ditambah dengan alat bukti lainnya. Dengan demikian, ketika dalam pembuktian dapat menghadirkan seorang saksi selain saksi korban, maka keterangan saksi dan keterangan saksi korban sudah dianggap sebagai alat bukti yang cukup dalam persidangan. Namun pada implementasinya, upaya penguatan alat bukti saksi dalam UU PKDRT belum diimbangi dengan pengaturan yang lengkap terutama berkaitan dengan alat bukti saksi, yaitu berlakunya Pasal 168 KUHAP dalam UU PKDRT. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tulisan ini akan menganalisis kedudukan saksi dalam hukum pidana dan kedudukan saksi dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini bertujuan untuk meninjau peran keterangan saksi dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana KDRT dan bagaimana hukum mengatur hal tersebut. Metode penelitian hukum normatif digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut. Dengan banyaknya kasus KDRT yang terjadi tiap harinya dan sulitnya pengumpulan alat bukti untuk membuktikan tindak pidana KDRT, maka perlu memformulasikan pengaturan keterangan saksi dalam tindak pidana KDRT baik melalui PERMA maupun revisi UU PKDRT
Penulis: Vani Wirawan
Abstrak:
Pertumbuhan investasi dan ekonomi dapat terhambat dengan keberadaan mafia tanah. Hal ini dikarenakan kejahatan tersebut merupakan kasus pertanahan berdimensi luas, sehingga mengakibatkan sengketa, konflik, dan perkara dengan objek tanah dan ruang yang bernilai ekonomis tinggi. Untuk itu, diperlukan pencegahan yang dimulai dari tingkat administratif. Penelitian ini ingin mengkaji rekonstruksi politik hukum sistem pendaftaran tanah yang ideal sebagai upaya pencegahan mafia tanah. Dengan demikian, diharapkan dapat menemukan tujuan dari ius constituendum dalam sistem pendaftaran tanah yang mampu melakukan pencegahan kejahatan mafia tanah dari tingkat administratif. Penelitian ini merupakan penelitian socio-legal research yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini menghasilkan alternatif konstruksi politik hukum baru bagi sistem pendaftaran tanah sebagai upaya pencegahan mafia tanah pada masa mendatang dari tingkat administratif. Rekonstruksi politik hukum tersebut berupa pembaharuan hukum pendaftaran tanah menjadi sistem publikasi positif. Oleh karena itu, perlu dilakukan revisi terhadap UUPA, terutama pasal-pasal yang berkaitan dengan sistem publikasi negatif. Selain itu, perubahan tersebut perlu diimbangi dengan penerapan sistem pendaftaran tanah secara elektronik, dengan produk hukum berupa sertipikat elektronik dan tetap mengedepankan prinsip good governance. Artikel ini memberi rekomendasi kepada pemerintah segera mungkin melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan untuk penyelesaian kasus pertanahan, khususnya tentang pencegahan mafia tanah, dan DPR RI untuk pengesahan RUU Pertanahan
Penulis: Utiyafina Mardhati Hazhin
Abstrak:
Asuransi Jiwa Kresna merupakan perusahaan yang pernah dijatuhkan putusan PKPU oleh hakim pengadilan niaga. Dalam kasus tersebut pemohon PKPU adalah pemegang polis, yang berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tidak memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan. Meski demikian, PKPU dalam kasus ini berakhir dengan disahkannya perjanjian perdamaian (homologasi) antara Asuransi Jiwa Kresna dengan pemegang polisnya. Sementara itu, kreditor lain yang tidak sepakat dengan perjanjian yang telah dihomologasi mengajukan upaya pembatalan ke tingkat kasasi. Mahkamah Agung pun mengabulkan permohonan kasasi tersebut dan memutus PKPU Asuransi Jiwa Kresna batal demi hukum. Tulisan ini mengkaji bagaimana implikasi hukum putusan kasasi terhadap pemegang polis Asuransi Jiwa Kresna, dan bagaimana efektivitas bentuk perlindungan hukum terhadap pemegang polis pasca putusan kasasi. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa putusan kasasi telah mengakibatkan perjanjian yang menjadi dasar pemegang polis untuk menuntut pembayaran Asuransi menjadi batal. Hal itu justru merugikan pemegang polis karena tidak mendapatkan kepastian pembayaran utangnya. Untuk mewujudkan efektivitas perlindungan hukum terhadap pemegang polis, diperlukan pembenahan, seperti perlunya memperbaiki aturan terkait asuransi unit link mulai dari tata kelola, transparansi hingga optimalisasi sistem perlindungan hukum terhadap pemegang polis, dan merealisasikan dibentuknya Lembaga Penjamin Polis.
Penulis: Ayon Diniyanto
Abstrak:
Isu penundaan Pemilu menjadi perdebatan di ruang publik. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah penundaan Pemilu dapat diwujudkan di Indonesia? Pertanyaan tersebut muncul karena konstitusi tidak mengatur penundaan Pemilu. Ini menjadi problem bagi Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional dan negara hukum. Oleh karena itu, rumusan masalah penelitian ini, yaitu: (1) bagaimana peluang terjadinya penundaan Pemilu di negara hukum?; (2) bagaimana penundaan Pemilu dalam kacamata demokrasi konstitusional?; dan (3) bagaimana formulasi penundaan Pemilu yang konstitusional dan komprehensif? Penelitian ini menggunakan jenis penelitian doktrinal, dengan pendekatan hukum, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus. Hasil pembahasan menyatakan bahwa peluang penundaan Pemilu di negara hukum dapat dilakukan secara konstitusional dan non-konstitusional. Secara konstitusional dilakukan dengan amandemen konstitusi. Secara non-konstitusional dilakukan dengan mengeluarkan dekrit dan membangun konvensi ketatanegaraan. Jika penundaan Pemilu dilakukan di Indonesia saat ini, akan bertentangan dengan demokrasi konstitusional. Untuk itu, perlu ada formulasi norma dalam konstitusi yang mengatur mengenai penundaan Pemilu dan constitutional deadlock. Simpulan artikel ini menyatakan bahwa peluang penundaan Pemilu di negara hukum dapat dilakukan dengan cara konstitusional dan non-konstitusional; penundaan Pemilu di Indonesia bertentangan dengan demokrasi konstitusional; dan perlu ada formulasi norma yang menyelesaikan constitutional deadlock dalam konstitusi. Untuk itu, MPR disarankan melakukan amandemen konstitusi dalam rangka mencegah constitutional deadlock.
Penulis: Dicky Eko Prasetio
Abstrak:
Pengujian undang-undang (UU) ratifikasi selama ini masih menimbulkan polemik terkait boleh atau tidaknya dilakukan constitutional review di Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana kedudukan UU ratifikasi terkait pengujian konstitusionalitas oleh MK. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dilihat dari bentuk dan urgensinya maka UU ratifikasi memiliki kedudukan yang sederajat dengan UU biasa sehingga secara hukum UU ratifikasi merupakan bagian dari frasa “undang-undang” yang merupakan objek pengujian dari MK. Dilihat dari konsep judicial activism, keaktifan hakim diperlukan dalam pengujian UU ratifikasi berdasarkan konsep the law is non transferability of law supaya UU ratifikasi yang merupakan hasil perjanjian internasional tidak bersifat “sub-ordinasi” bagi hukum nasional. Oleh karena itu, pengujian UU ratifikasi dapat dilakukan di MK dengan cara penafsiran secara ekstensif atas frasa “undangundang” sehingga bukan hanya meliputi UU biasa, namun juga termasuk UU ratifikasi. Selain itu, pengaturan ke depan mengenai pengujian UU ratifikasi maka MK perlu melakukan judicial activism yaitu upaya progresif dan substantif untuk menguji kesesuaian antara UU ratifikasi dengan konstitusi. Hal ini dalam praktiknya, ke depan dapat dilakukan dengan upaya judicial preview sebagai upaya hukum MK menguji UU ratifikasi.
Penulis: Jemila Rahmi
Abstrak:
Dalam dua dekade terakhir, kontribusi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan dari 26,4 persen pada tahun 2000 menjadi 21,7 persen pada tahun 2019. Penurunan kinerja tersebut disebabkan oleh menurunnya produktivitas industri manufaktur. Agar kontribusinya terhadap PDB dan pertumbuhannya kembali meningkat maka produktivitas industri manufaktur harus ditingkatkan. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja industri manufaktur itu sendiri. Menurut teori efisiensi upah dan teori produksi, upah merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi produktivitas tenaga kerja. Melalui mekanisme spillover effect, kenaikan upah minimum akan memengaruhi kenaikan upah pekerja tetap. Sementara kenaikan upah pekerja diduga akan memengaruhi produktivitas tenaga kerja. Penelitian ini bertujuan menguji adanya spillover effect tersebut dengan kerangka silogisme, yaitu menguji pengaruh kenaikan upah minimum terhadap kenaikan upah, dan menguji pengaruh upah terhadap produktivitas karyawan/pekerja tetap pada industri manufaktur. Dengan menggunakan panel data regression model dan data survei industri besar-sedang BPS dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2015, penelitian ini menunjukkan bahwa upah minimum berasosiasi positif dan signifikan terhadap upah, dan upah berasosiasi positif dan signifikan terhadap produktivitas tenaga kerja. Hasil ini membuktikan adanya spillover effect kenaikan upah minimum terhadap kenaikan upah pekerja yang berimplikasi pada meningkatnya produktivitas tenaga kerja pada industri manufaktur. Oleh karena itu, kebijakan upah minimum dapat digunakan sebagai instrumen untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja pada industri manufaktur.
Penulis: Yuni Sudarwati
Abstrak:
Kebutuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk terhubung dengan pelanggan semakin meningkat. Memahami perilaku pelanggan merupakan keniscayaan dalam menjalankan usaha terutama di masa pandemi. Manajemen Hubungan Pelanggan (MHP) membantu UMKM untuk mengelola keterhubungan tersebut. Namun dalam pelaksanaannya, UMKM mengalami kendala seperti belum dipahaminya konsep MHP, belum adanya pemimpin yang kuat, dan terbatasnya dukungan sumber daya. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana MHP yang sebaiknya dilakukan oleh UMKM. Kajian yang dilakukan melalui studi literatur ini bertujuan untuk menganalisis penerapan MHP oleh UMKM dan memberikan saran kebijakan kepada pemerintah untuk membantu UMKM dalam masa pandemi. Hasil kajian menunjukkan bahwa yang paling utama harus dilakukan oleh UMKM adalah memahami MHP seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan. Hal ini akan memengaruhi pilihan jenis MHP yang paling sesuai untuk dijalankan dan bagaimana upaya UMKM menjalankannya. Keseimbangan antara ketiga unsur utama dalam MHP, yaitu manusia, sistem dan proses, serta teknologi harus terpenuhi. Oleh karena itu, Pemerintah dapat mengambil peran baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang karena pentingnya peran UMKM bagi perekonomian negara. Dalam jangka pendek dengan memberi dukungan pelatihan dan pendampingan bagi UMKM untuk bisa Go Online. Sedangkan untuk jangka panjang dengan memberikan dukungan pada infrastruktur teknologi, pengembangan produk, dan juga dalam hal distribusi. Selain itu, pemerintah dapat berkaca pada Pemerintah Malaysia yang menjadikan UMKM sebagai bagian dari politik.
Penulis: Renny Risqiani
Abstrak:
Perkembangan evolusi perekonomian dimulai dari gelombang pertama hingga masuk revolusi industri membawa perubahan terhadap perekonomian. Salah satu dampak tersebut adalah semakin berkembangnya teknologi. Perkembangan teknologi membawa dampak terhadap peningkatan Financial Technology (Fintech) di Indonesia. Penggunaan fintech di Indonesia mengalami peningkatan khususnya penggunaan fintech di Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi niat untuk terus memanfaatkan layanan fintech. Studi ini mengumpulkan data dari pengguna fintech di Jakarta yang berusia 17 hingga 35 tahun menggunakan metode non-probability sampling dengan periode penelitian dari bulan Maret – Mei tahun 2020. Analisis data menggunakan Structural Equation Model (SEM) dengan program software AMOS. Studi ini menemukan bahwa tekanan persaingan dalam layanan teknologi dan kemudahan teknologi digital menawarkan konsumen berbagai pilihan. Konsumen dengan mudah beralih ke layanan teknologi lain dengan harga yang cukup terjangkau. Penelitian ini juga menemukan bahwa variabel persepsi konsumen terhadap manfaat dan variabel kepercayaan terhadap layanan fintech berpengaruh terhadap sikap konsumen. Namun, kedua variabel tersebut tidak berpengaruh langsung terhadap keinginan untuk terus menggunakan layanan fintech. Variabel persepsi risiko tidak memengaruhi sikap dan keinginan konsumen untuk tetap menggunakan layanan fintech. Variabel sikap memengaruhi keinginan untuk terus menggunakan layanan fintech. Hasil studi menunjukkan bahwa penetrasi fintech meningkat dan konsumen terus menggunakan fintech. Persepsi risiko terhadap fintech yang digunakan konsumen perlu ditingkatkan.
Penulis: Nugrahana Fitria Ruhyana
Abstrak:
Dalam upaya meningkatkan daya saing dan efisiensi usaha Kopi Arabika Java Preanger (KAJP) asal Gunung Manglayang Timur Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, diperlukan informasi mengenai aliran produk dari hulu hingga hilir, berikut permasalahan yang dihadapi oleh setiap pelaku dalam rantai pasok, nilai tambah dari pengolahan kopi, dan rencana selanjutnya untuk mengembangkan usaha KAJP Manglayang Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut di atas. Metode penelitian menggunakan metode campuran dengan pendekatan kualitatif deskriptif untuk menggambarkan rantai pasok dan rencana pengembangan usaha, serta metode Hayami digunakan untuk analisis nilai tambah. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sumedang sebagai sentra produksi KAJP Manglayang Timur. Peneliti mengumpulkan data melalui wawancara, observasi, dan focus group discussion dengan narasumber yang dipilih secara purposive dan snowball. Hasil penelitian menunjukkan terdapat dua pola rantai pasok KAJP berdasarkan orientasi pasarnya, yaitu ekspor dan domestik. Pelaku usaha terdiri dari petani, kelompok tani, pedagang besar, industri pengolahan, kafe atau kedai kopi, dan konsumen rumah tangga. Permasalahan yang dihadapi pelaku usaha adalah keterbatasan agro input dan alat pengolahan, serta minimnya integrasi pemasaran antarpelaku usaha dalam rantai pasok. Kopi spesial yang diolah dari KAJP Manglayang Timur, khususnya yang diproses secara fermentasi, dapat memberikan nilai tambah lebih tinggi dibandingkan dengan proses pengolahan secara kering, basah, dan madu. Kapasitas petani kopi perlu terus ditingkatkan agar menghasilkan kopi spesial yang mampu bersaing di pasar global melalui dukungan regulasi pemerintah dan sinergi antar-pemangku kepentingan dari hulu hingga hilir sehingga KAJP dapat menjadi komoditas unggulan Kabupaten Sumedang.
Penulis: Aeda Ernawati
Abstrak:
Kontribusi laba atas penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Pati masih rendah (4,23 persen). BUMD tertarik untuk meningkatkan PAD melalui pengelolaan limbah medis karena pengolahan oleh pihak ketiga dianggap kurang optimal. Tujuan penelitian untuk menganalisis kelayakan rencana pendirian usaha pengolahan limbah medis dan menghitung perkiraan kontribusinya terhadap PAD Kabupaten Pati. Metode yang digunakan deskriptif kualitatif dan dianalisis dengan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha pengolahan limbah medis dinyatakan layak untuk dijalankan, baik dari faktor finansial maupun nonfinansial. Berdasarkan penilaian dari faktor finansial, nilai PP (Payback Period) = 3 tahun 10 bulan 9 hari; NPV (Net Present Value) = Rp5.245.526.919,00; dan IRR (Internal Rate of Return) = 28,65 persen. Faktor nonfinansial meliputi faktor pasar yang terbuka lebar karena hanya ada 1 perusahaan pengolahan limbah medis di Jawa Tengah, harga yang ditawarkan lebih murah Rp2.000,00-Rp7.000,00 per kg dibandingkan pihak ketiga; faktor hukum, izin pengelolaan limbah B3 sudah sesuai prosedur Permen LHK No. 56 Tahun 2015; faktor sosial ekonomi, kenyamanan dan kesehatan masyarakat lebih terjamin karena jadwal pengambilan limbah tepat waktu; faktor lingkungan, mengurangi risiko kontaminasi limbah infeksius; faktor manajemen dan sumber daya manusia, membutuhkan 10 orang tenaga kerja dengan kualifikasi tertentu; serta faktor teknis dan operasional, pemilihan lokasi sudah sesuai prosedur, yaitu di TPA Sukoharjo dengan peralatan utama mesin insinerator sesuai spesifikasi. Diestimasikan laba dari Perusahaan Daerah Aneka Usaha (PDAU) Unit Pengolahan Limbah Medis memberikan kontribusi terhadap PAD Kabupaten Pati pada tahun 2023 sebesar 0,215 persen, lebih tinggi dari pada kontribusi PDAU Unit yang lainnya.
Penulis: Mita Noveria
Abstrak:
Pekerja Migran Indonesia (PMI) merupakan salah satu kelompok penduduk yang terkena dampak negatif dari pandemi Covid-19 karena negara tempat mereka bekerja tidak luput dari penyakit infeksi menular tersebut. Dari sisi ekonomi, dampak yang dirasakan oleh sebagian PMI adalah kehilangan pekerjaan, karena Covid-19 memengaruhi aktivitas ekonomi berbagai negara tempat mereka bekerja. Akibatnya, mereka tidak mempunyai penghasilan yang bisa dikirim untuk keluarga yang ditinggalkan. Tulisan ini bertujuan untuk membahas dampak Covid-19 terhadap kesejahteraan PMI dan keluarga mereka di daerah asal. Analisis tulisan ini berdasarkan pada berbagai data sekunder yang diperoleh melalui kajian pustaka terhadap literatur yang relevan. Hasil analisis memperlihatkan dampak langsung yang dirasakan PMI adalah diberhentikan dari pekerjaan atau tidak adanya perpanjangan kontrak kerja. PMI yang tidak dapat terus bekerja di luar negeri terpaksa harus kembali ke daerah asal. Sebagian PMI yang masih bekerja mengalami pengurangan pendapatan, antara lain karena pemotongan upah dan tidak ada penghasilan tambahan yang diperoleh saat bekerja lembur. Kondisi ini berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan PMI dan keluarganya karena aliran remitansi menjadi berkurang. Remitansi dari PMI ke Indonesia telah mengalami penurunan selama pandemi Covid-19, yaitu mencapai 10,28 persen. Mempertimbangkan kondisi keluarga PMI yang mengalami penurunan remitansi maka kelompok ini perlu mendapat perhatian, terutama terkait dengan jaminan sosial bagi penduduk yang terdampak Covid-19.
Penulis: Zaki Priambudi
Abstrak:
Komisi Yudisial merupakan produk reformasi yang berfungsi mengawasi dan memantau perilaku hakim. Seiring dengan berjalannya waktu, terdapat penambahan kewenangan diskresional kepada Komisi Yudisial untuk membentuk lembaga penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan. Namun, dalam perjalanannya, Penghubung Komisi Yudisial tidak dapat menjalankan tugasnya dengan optimal sebagai perpanjangan tangan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan perilaku hakim di daerah. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menganalisis apa urgensi reformulasi Penghubung Komisi Yudisial dan bagaimana gagasan penguatan Penghubung Komisi Yudisial dapat meningkatkan efektivitas pengawasan perilaku hakim di daerah. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, artikel ini menemukan bahwa terdapat beberapa kekurangan dalam pengaturan Penghubung Komisi Yudisial seperti tidak adanya kewenangan eksekutorial, kesan sebagai lembaga sub-kesekretariatan, serta sistem rekrutmen, pengembangan SDM, dan karier pegawai yang tidak tepat. Untuk menindaklanjuti permasalahan itu, artikel ini memformulasikan beberapa penguatan Penghubung Komisi
Yudisial dengan menambahkan kewenangan eksekutorial, mengalihkan pertanggungjawaban Penghubung Komisi Yudisial kepada Ketua Komisi Yudisial, serta memperbaiki sistem rekrutmen, pengembangan SDM, dan karier pegawai. Penguatan tersebut dilakukan melalui amandemen UUD NRI 1945, revisi UU KY, dan pengaturan Penghubung KY melalui peraturan pemerintah.
Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.
Abstrak:
Tanah ulayat sangat berarti bagi masyarakat hukum adat, oleh karenanya penting bagi masyarakat hukum adat untuk tetap menguasai dan mempertahankannya. Namun tanah ulayat juga diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan investasi melalui hak pengelolaan
yang berasal dari tanah ulayat. Untuk itu tulisan ini mengkaji dan bertujuan untuk mengetahui pengaturan dan pelaksanaan hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat untuk kepentingan
investasi. Tulisan ini memiliki kegunaan teoritis dan praktis. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, diperoleh hasil hak pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat ditetapkan dan wajib didaftarkan. Tanah ulayat dengan hak pengelolaan dapat dikerjasamakan dengan investor
dan masyarakat hukum adat tetap menguasai tanah ulayatnya setelah kerja sama berakhir. Beda halnya dengan tanah ulayat yang belum ditetapkan hak pengelolaannya. Tanah ulayat tersebut dapat dikerjasamakan dengan investor, namun menjadi tanah negara setelah hak atas tanahnya berakhir. Sewa menyewa juga tidak dimungkinkan berlaku untuk tanah ulayat. Hak pengelolaan hanya dapat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat yang telah diakui keberadaannya. Untuk itu pemerintah daerah sebaiknya beritikad baik dan aktif melakukan
upaya memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat di daerahnya. Pemetaan dan pencatatan tanah ulayat perlu terus dilakukan. Untuk memperkuat hak ulayat, rancangan undang-undang tentang pelindungan terhadap hak masyarakat hukum adat juga perlu segera
disahkan.
Penulis: Trias Palupi Kurnianingrum, S.H., M.H.
Abstrak:
Penghapusan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten) terkait kewajiban pemegang paten pasca diberlakukannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah menimbulkan perdebatan. Hal ini bukannya tanpa sebab dikarenakan dengan menghapus kewajiban pemegang paten untuk membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia secara tidak langsung akan menghilangkan transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja. Artikel ini menggunakan metode yuridis normatif membahas latar belakang penghapusan Pasal 20 UU Paten dan akibat hukum di dalamnya. Dalam pembahasan disebutkan bahwa latar belakang penghapusan Pasal 20 UU Paten dipengaruhi oleh beberapa sebab di antaranya: fleksibilitas kewajiban membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia, diskriminasi Pasal 27 ayat (1) Perjanjian TRIPS, pelanggaran Pasal 20 UU Paten yang berakibat pada pencabutan paten, serta kesulitan bahan baku. Menghapus Pasal 20 UU Paten dianggap bukan merupakan solusi dikarenakan beragamnya akibat hukum yang ditimbulkan mulai dari aspek kesehatan, bisnis, hingga berpotensi menciptakan ketidakharmonisan aturan. Diperlukan adanya revisi UU Paten guna menciptakan kepastian hukum bagi pemegang hak yang ingin mendaftarkan patennya atau yang ingin melakukan pengalihan hak melalui lisensi baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Penulis: Ubaiyana
Abstrak:
Setelah diterbitkannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) yang memuat asas kemudahan berusaha, banyak kalangan yang memberikan respon negatif terhadap peraturan tersebut. Salah satu muatan norma yang paling kontroversial adalah menurunnya kekuatan
amdal, hilangnya kekuatan izin lingkungan, serta rumusan pasal lain yang turut melemahkan upaya pelindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup. Dalam rangka memaksimalkan efektivitas dari UU tersebut, penelitian ini berusaha menjawab dan menguraikan secara
mendalam apa sebenarnya maksud dari konsep kemudahan berusaha serta bagaimana politik hukum yang terjadi dalam penetapan asas ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konseptual. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsep kemudahan berusaha dikenalkan untuk menunjukkan aspek positif dan negatif kehidupan ekonomi suatu negara yang berpengaruh terhadap perkembangan lingkungan bisnis. Sementara itu, politik
hukum dimuatnya kemudahan berusaha dalam UU CK adalah sebagai hukum responsif yang berdiri sesuai kebutuhan bangsa dan negara, mewujudkan transformasi ekonomi, meningkatkan investasi, dan membuka sebesar-besarnya lapangan pekerjaan. Rekomendasi dari penelitian ini adalah pemerintah pusat dan daerah perlu berkoordinasi dalam mengimplementasikan paketpaket kebijakan yang telah diatur dan melakukan monitoring evaluasi secara berkala.
Penulis: Puteri Hikmawati, S.H., M.H.
Abstrak:
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 terkait pengujian Undang-Undang No. 19 Tahun 2019, Penyidik KPK hanya memberitahukan penyadapan yang dilakukan kepada Dewan Pengawas. Putusan MK tersebut menjadi sorotan karena Putusan MK
terdahulu mengatakan perlu adanya otoritas yang memberikan izin penyadapan. Oleh karena itu, timbul pertanyaan bagaimana pengaturan izin penyadapan oleh KPK pasca Putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019. Berdasarkan hal itu, permasalahan yang dibahas dalam artikel ini adalah
pertama, bagaimana politik hukum pengaturan izin penyadapan?; kedua, bagaimana ketentuan izin penyadapan oleh KPK; dan ketiga, bagaimana pengaturan ketentuan izin penyadapan di masa yang akan datang?. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat
kualitatif, dibahas beberapa undang-undang yang mengatur izin penyadapan secara berbeda. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Penyadapan tanpa izin oleh KPK menimbulkan polemik mengenai keabsahannya. Sementara pengaturan khusus penyadapan sampai saat ini belum ada. RUU KUHAP yang sempat dibahas memuat ketentuan penyadapan, tetapi belum dibahas kembali oleh DPR RI dan Pemerintah. Sementara itu, dalam RUU tentang Penyadapan adanya penetapan pengadilan merupakan persyaratan bagi penyidik yang akan melakukan
penyadapan, termasuk KPK. Oleh karena itu, disarankan RUU tentang Penyadapan menjadi prioritas pembahasan oleh DPR RI dan Pemerintah.
Penulis: Ramsen Marpaung
Abstrak:
Kondisi perpecahan organisasi advokat di Indonesia telah merusak eksistensi sistem single bar terhadap tegaknya rule of law karena bangunan sistem single bar yang lemah tidak dapat lagi menjamin kualitas advokat yang selalu mampu menegakkan prinsip-prinsip negara hukum. Untuk mengatasinya peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus lebih dioptimalkan sehingga kebijakan dan keputusan yang ditetapkan tidak lagi berdampak semakin memperuncing perpecahan organisasi advokat. Artikel ini mengkaji signifikansi peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam menjaga eksistensi sistem single bar demi tegaknya supremacy of law, equality before the law, human rights. Metode penulisan yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan undang-undang, kasus, perbandingan, sejarah, dan konsep melalui studi perpustakaan untuk menemukan data sekunder yang dianalisis secara deskriptif kualitatif. Adapun dari pembahasan diketahui bahwa sistem single bar telah teruji eksistensinya di seluruh dunia. Hanya sistem single bar yang dapat mewujudkan cita-cita advokat untuk membentuk advokat yang berkualitas, yang berarti sekaligus menjamin penegakan hukum yang berkeadilan. Untuk itu, demi terealisasinya tujuan pembangunan nasional, khususnya bidang hukum, maka peran eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara komprehensif dan terkoordinasi sangat
diperlukan dalam upaya menyelesaikan perpecahan organisasi advokat dengan mengembalikan dan memantapkan organisasi advokat Indonesia ke sistem single bar sesuai dengan Undang-Undang Advokat.
Penulis: Muhamad Hasan Rumlus
Abstrak:
Artikel ini menjawab pentingnya penetapan undang-undang yang tegas sekaligus komprehensif dalam memberikan perlindungan hukum kepada ulama. Persoalan ini muncul dari adanya ketidakjelasan dalam regulasi saat ini yaitu mengenai keamanan atas menjalankan ajaran suatu
agama khususnya ajaran agama Islam. Sejauh ini, Indonesia belum mempunyai undang-undang yang mengatur secara khusus upaya untuk menanggulangi kejahatan kepada para ulama. Tulisan ini akan membahas tentang urgensi pembentukan Undang-Undang Perlindungan terhadap
Ulama dan kebijakan penanggulangan kejahatan kepada para ulama di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif yaitu penelitian dengan fokus kajian mengenai penerapan norma-norma dalam hukum positif di Indonesia. Pengaturan mengenai perlindungan hukum kepada ulama masih belum jelas atau eksplisit. Aturan yang digunakan berkaitan dengan perlindungan pada ulama masih menggunakan Pasal 156 KUHP dan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal tersebut masih dirasakan kurang efektif. Oleh sebab itu, dipandang perlu segera disahkan undang-undang tersendiri yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap para ulama sehingga dapat memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada para ulama dalam menjalankan ajaran Islam (berdakwah).
Penulis: Elsya Yunita
Abstrak:
Regulasi usaha yang tidak efisien dapat menghambat pertumbuhan aktivitas usaha. Pada tahun 2009, APEC menetapkan Rencana Aksi Kemudahan Berusaha APEC (Rencana Aksi APEC) sebagai bentuk intervensi untuk mendorong perbaikan regulasi usaha di kawasan anggotanya. Terdapat lima indikator kemudahan berusaha yang menjadi prioritas perbaikan dalam Rencana Aksi APEC, yaitu memulai usaha, perizinan terkait mendirikan bangunan, akses perkreditan, perdagangan lintas negara, dan penegakan kontrak. Penelitian ini menguji bagaimana dampak perbaikan regulasi usaha pada kelima indikator tersebut terhadap pendirian usaha di kawasan APEC, dalam kondisi adanya intervensi berupa penerapan Rencana Aksi APEC. Menggunakan kombinasi fixed effects model, random-effects model, dan random effect – instrumental variable pada data panel 15 ekonomi anggota APEC tahun 2006-2018, hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan perbaikan skor pada lima indikator kemudahan berusaha setelah adanya penerapan Rencana Aksi APEC. Perbaikan regulasi pada indikator memulai usaha memiliki pengaruh paling signifikan terhadap pendirian usaha di kawasan APEC, di mana peningkatan jumlah pendirian usaha di kawasan APEC dipengaruhi secara signifikan oleh penurunan jumlah hari yang dibutuhkan untuk mengurus perizinan memulai usaha. Adapun empat indikator kemudahan berusaha lainnya menunjukkan hubungan yang tidak signifikan terhadap pendirian usaha. Dari hasil penelitian, disarankan agar anggota APEC merancang kebijakan yang memfokuskan pada penyediaan layanan perizinan memulai usaha yang mudah, murah dan cepat. Misalnya dengan mengimplementasikan layanan “one-stop shops” serta mengembangkan layanan berbasis elektronik untuk mempercepat proses perizinan dan meminimalkan biaya yang harus dikeluarkan.
Penulis: Sri Amanda Fitriani
Abstrak:
Arus globalisasi menjadi tantangan tersendiri bagi hampir seluruh negara di dunia. Setiap negara saat ini melakukan keterbukaan perdagangan untuk menunjang kebutuhan domestik dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Pergerakan rasio keterbukaan perdagangan Indonesia cenderung menurun dan rendah, tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonominya. Studi empiris menganalisis hubungan keterbukaan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang telah dilakukan memiliki hasil penelitian yang berbeda. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan keterbukaan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam jangka pendek maupun jangka panjang berdasarkan beberapa indikator keterbukaan perdagangan. Jenis data penelitian adalah data sekunder dalam deret waktu tahunan (time series) dari tahun 1980 sampai tahun 2019. Penelitian ini menggunakan metode Autoregressive Distributed Lag (ARDL). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif dan signifikan antara keterbukaan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam jangka panjang tetapi negatif dalam jangka pendek dari seluruh indikator keterbukaan perdagangan yang digunakan (ekspor ditambah impor dibagi PDB, ekspor dibagi PDB, dan impor dibagi PDB). Dalam jangka panjang terdapat hubungan yang negatif antara Foreign Direct Investment (FDI) dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, sedangkan dalam jangka pendek terdapat hubungan positif. Untuk modal manusia memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam jangka panjang, tetapi tidak signifikan dalam jangka pendek. Rekomendasi dari penelitian ini, perlu adanya peningkatan kinerja perdagangan dalam jangka pendek dengan menghidupkan sektor riil dalam negeri, peningkatan pengawasan serta kerja sama dari seluruh stakeholders yang terkait dalam mendukung FDI, dan memberikan kemudahan akses bagi masyarakat kurang mampu untuk menempuh pendidikan tinggi.
Penulis: Setyo Tri Wahyudi
Abstrak:
Inflasi menjadi salah satu variabel penting dalam ekonomi. Setiap pergerakan inflasi akan menyebabkan beberapa perubahan terhadap variabel fundamental ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Oleh karena itu, inflasi menjadi variabel yang seringkali diamati dan diuji, baik secara teoritis maupun empiris. Pertumbuhan ekonomi dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh angka inflasi yang stabil dan kemudian akan berguna untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Menggunakan data inflasi tingkat kabupaten/kota di Jawa Timur, penelitian ini bertujuan untuk mengukur persistensi inflasi di tingkat kabupaten/kota di Jawa Timur. Persistensi inflasi menunjukkan kecepatan tingkat inflasi untuk kembali ke tingkat ekuilibriumnya setelah adanya suatu shock. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis penyebab persistensi di 8 kabupaten/kota di Jawa Timur. Untuk mengukur derajat persisitensi inflasi, penelitian ini menggunakan model univariate autoregressive (AR). Berdasarkan hasil pengujian, diperoleh temuan bahwa (1) inflasi di 8 kabupaten/kota di Jawa Timur cenderung berfluktuasi sepanjang periode penelitian ini. Inflasi tertinggi berada di Kota Probolinggo, sedangkan yang terendah adalah Kota Madiun. Komoditas penyumbang inflasi terbesar dari kelompok bahan makanan, contohnya telur ayam ras, beras, ayam ras, tomat sayur, bawang merah, dan daging sapi. Kemudian (2) hasil yang diperoleh adalah derajat persistensi inflasi di 8 kabupaten/kota di Jawa Timur masih terbilang tinggi, sehingga memerlukan perhatian dari regulator. Selain itu, persistensi inflasi ini disebabkan oleh tinggi ekspektasi inflasi atau mengarah ke forward looking. Berdasarkan temuan, pemerintah perlu menyusun strategi yang terukur dalam mengendalikan inflasi supaya stabil, seperti mengoptimalkan peran Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID).
Penulis: Iwan Hermawan
Abstrak:
Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) bertujuan untuk membantu masyarakat miskin mengakses sebagian pangannya. Namun sayang, berbagai kendala dan tantangan masih jamak ditemukan dalam pelaksanaannya sehingga berpotensi mengurangi manfaat utuh dari adanya BPNT. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis efektivitas pelaksanaan BPNT, khususnya di Kota Yogyakarta sebagai salah satu daerah percontohan BPNT di Indonesia. Untuk menjawabnya, digunakan pendekatan kualitatif dengan dilengkapi data primer dan sekunder. Sumber data primer berasal dari kuesioner berdasarkan perspektif e-Warong dan juga wawancara mendalam dengan narasumber dari Kementerian Sosial, akademisi, dinas sosial, dan lainnya. Sedangkan data sekunder berasal dari publikasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Lembaga Swadaya Masyarakat pemerhati kebijakan publik, Badan Pusat Statistik, Kementerian Sosial, dan Perum Bulog. Selanjutnya secara khusus pendekatan Importance-Performance Analysis (IPA) diaplikasikan guna mengukur karakteristik efektivitas dari pelaksanaan BPNT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan BPNT di Kota Yogyakarta secara umum berjalan efektif namun dengan catatan jika dilihat berdasarkan indikator prinsip 6 T. Dimensi administrasi menjadi dimensi yang belum berperforma baik dibandingkan dimensi lainnya. Apalagi dimensi-dimensi lain yang sudah efektif ternyata masih berpotensi menurun kinerjanya karena berbagai faktor berdasarkan hasil dari wawancara yang dilakukan. Berdasarkan temuan tersebut, berbagai rekomendasi kebijakan disarankan, antara lain penyempurnaan pasokan, perbaikan infrastruktur, dan menyempurnakan mekanisme pendataan. Selain itu, saran lainnya adalah menyempurnakan BPNT sesuai karakteristik masyarakat dan wilayah serta meningkatkan intensitas keterlibatan dan kinerja Bulog untuk mendukung BPNT dan urusan pangan nasional.
Penulis: Almuttaqin
Abstrak:
Otonomi daerah menuntut reformasi birokrasi dalam pengelolaan keuangan dengan menerapkan prinsip tata kelola yang baik untuk meningkatkan kinerja pemerintah dan mempercepat pencapaian tujuan pembangunan daerah. Pada era digitalisasi industri 4.0 saat ini, perkembangan sistem informasi dapat dirancang sebagai media pendukung, seperti e-Budgeting yang digunakan oleh Pemerintah Aceh. Pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh, yang hampir satu dekade sebelumnya selalu terlambat, akhirnya dapat dilakukan tepat waktu pada tahun 2020, dimana e-Budgeting berperan penting terhadap pencapaian tersebut. Namun demikian, Indeks Reformasi Birokrasi yang direalisasikan tidak meningkat dari tahun lalu, sementara Indeks Keterbukaan Informasi Publik bahkan mengalami penurunan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang memengaruhi penerapan e-Budgeting. Populasi penelitian ini merupakan 47 Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) sebagai unit analisis. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner online dan wawancara kepada 67 responden melalui google form. Analisis deskripsi terhadap penerapan e-Budgeting pada SKPA mengindikasikan kinerja yang bagus. Penerapan e-Budgeting dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Aceh mencapai nilai tertinggi pada prinsip efektif dan terendah pada prinsip transparan. Teknik analisis regresi linier berganda digunakan pada tingkat signifikansi 0,05 (α = 5 persen). Hasil uji serempak menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,042 sehingga disimpulkan bahwa setidaknya ada satu variabel bebas memengaruhi variabel terikat. Hasil uji parsial menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,049 dengan nilai konstanta sebesar 3,418 dan koefisien determinasi sebesar 0,437. Hasil penelitian membuktikan bahwa dukungan atasan langsung dan jumlah operator e-Budgeting memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penerapan e-Budgeting, sedangkan pendidikan formal, pengalaman, pelatihan, dan keseimbangan penghasilan dengan beban kerja juga berpengaruh positif namun tidak signifikan.
Penulis: Lukmanul Hakim
Abstrak:
Peraturan Daerah terkait Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan payung hukum dalam pembangunan suatu daerah, tetapi kebijakan tersebut terkadang tidak sinkron jika diterapkan di lapangan, sehingga muncul kesenjangan antara kebijakan rencana tata ruang dan realisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian dan kesenjangan antara Kebijakan RTRW Kabupaten Garut dengan realisasi, khususnya terkait KPI IPK Sukaregang, Kecamatan Garut Kota. Metode “penelitian kebijakan” (policy research) digunakan dalam penelitian ini dengan melakukan sinkronisasi antara Kebijakan RTRW dengan kondisi di lapangan dan dengan peraturan perundang-undangan terkait yang dikombinasi dengan pendekatan Importance Performance Analysis (IPA) untuk mengetahui tingkat kesenjangan antara Kebijakan dan realisasi. Berdasarkan hasil analisis, arahan pola ruang RTRW Kabupaten Garut terkait Kawasan Peruntukan Industri di Kecamatan Garut Kota belum didasarkan pada peraturan dan perundangan serta kondisi di lapangan, sehingga terjadi ketidaksinkronan dalam perencanaan. Demikian juga dengan arahan kebijakan rencana tata ruang dengan kondisi aktual dilapangan terjadi kesenjangan sebesar 42 persen. Agar kebijakan rencana tata ruang dapat berjalan efektif, maka Perda RTRW yang ada perlu dilakukan peninjauan kembali (PK) untuk selanjutnya dilakukan revisi yang didasarkan kepada peraturan dan perundangan yang terkait serta kondisi aktual di lapangan.
Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.
Abstrak:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021 menyatakan frasa pada Penjelasan Pasal 74 UU
PPTPPU sebagai konstitusional bersyarat. Penjelasan tersebut menafsirkan frasa “penyidik tindak pidana asal”,
harus dimaknai sebagai “pejabat atau instansi yang oleh peraturan perundang-undangan diberi kewenangan untuk
melakukan penyidikan”. Artikel ini mengkaji pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan Penjelasan
Pasal 74 UU PPTPPU, dan implikasinya terhadap penegakan hukum TPPU. Selain itu, artikel ini diharapkan dapat
memberi masukan terkait kesiapan PPNS dalam mengemban wewenang penyidikan TPPU. Artikel ini merupakan
penelitian hukum empiris-normatif, dengan metode analisis data yang bersifat kualitatif. Hasil pembahasan bahwa
perumusan terhadap penjelasan Pasal 74 UU PPTPPU memang telah menimbulkan ketidakjelasan norma, yaitu
terjadi ketidakselarasan antara Penjelasan Pasal 74 dengan ketentuan norma pokoknya, hal itu pula yang menjadi
salah satu pertimbangan konstitusional bersyarat oleh MK. Selain itu, Putusan MK berimplikasi pada terbukanya
keran penegakan hukum TPPU yang kini menjadi bersifat multi-investigators. Tugas dan kewenangan penyidikan
TPPU yang diatur dalam UU PPTPPU kini juga diberikan kepada seluruh penyidik tindak pidana asal (termasuk
PPNS). Artikel ini merekomendasikan agar pembenahan PPNS perlu terus diupayakan agar kuantitas, kualitas dan
profesionalitas PPNS terus meningkat, sehingga dapat melaksanakan fungsi penegakan hukum TPPU secara efektif.
Penulis: R. Muhamad Ibnu Mazjah
Abstrak:
Kemudahan masyarakat dalam mengakses dan menjadikan media sosial sebagai alat berkomunikasi termasuk
untuk menyatakan pikiran dan sikap, mengeluarkan pendapat, mengolah dan menyampaikan informasi telah
melahirkan sebuah aktivitas baru di tengah masyarakat yang dikenal dengan istilah pendengungan (buzzing)
informasi elektronik, beserta subjeknya yang disebut buzzer. Pelaksanaan aktivitas buzzing itu berlandaskan pada
pada hak atas kebebasan berekspresi dan menyebarkan informasi yang mendapatkan jaminan perlindungan
hak asasi manusia. Akan tetapi, pada kenyataannya aktivitas tersebut mendapat celaan dari masyarakat karena
dianggap sebagai alat penebar rasa kebencian dan permusuhan, akibat pelanggaran dari sisi kesusilaan karena
menyalahgunakan arti kebebasan itu sendiri. Pada sisi lain, ketentuan hukum tidak secara spesifik dan
komprehensif mengatur aktivitas buzzing. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini membahas mengenai redefinisi
buzzing dari perspektif hukum sebagai sumbangan pemikiran guna mengetahui sejauh mana hukum mengatur
kebebasan dan tanggung jawab dalam melaksanakan aktivitas buzzing tersebut berikut dengan perumusan unsurunsur tindak pidananya. Artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang pada bagian akhir
merekomendasikan perlunya undang-undang tersendiri yang mengatur aktivitas buzzing sebagai suatu pekerjaan
sesuai dengan kondisi terkini masyarakat hingga mencakup pengaturan tentang pemberlakuan sistem norma
etika kepada buzzer sebagai sarana untuk mencegah kejahatan berbasis pengendalian perilaku.
Penulis: Novianto Murti Hantoro, S.H., M.H.
Abstrak:
Penanganan pandemi Covid-19 sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Pandemi Covid-19 ditangani dengan
kerangka hukum beragam oleh beberapa negara. Artikel ini mengevaluasi kerangka hukum tersebut dari
perspektif hukum tata negara darurat dengan membahas kerangka hukum yang digunakan serta evaluasi terhadap
kelebihan dan kekurangannya. Tujuannya untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap ilmu hukum
tata negara darurat dan mengevaluasi kerangka hukum tersebut. Penulisan artikel ini menggunakan metode
penelitian hukum normatif dan analisis kualitatif melalui analisis yuridis dan perbandingan. Berdasarkan hasil
analisis, Indonesia masuk dalam kategori menggunakan undang-undang yang ada (existing law) dalam penanganan
pandemi Covid-19. Penggunaan existing law sebagai tindakan darurat tidak sama dengan menerapkan hukum
tata negara darurat, karena terdapat unsur yang tidak terpenuhi, misalnya kapan penggunaan undang-undang
tersebut akan berakhir. Apabila dibandingkan antara penggunaan existing law dan membentuk undang-undang
baru khusus untuk penanganan pandemi Covid 19, terdapat kelebihan dan kekurangan. Kelebihan penggunaan
existing law akan menjadi kekurangan pembentukan undang-undang baru, dan sebaliknya. Salah satunya, dengan
undang-undang baru, penanganan akan lebih fokus dibandingkan dengan menggunakan tiga undang-undang
yang ada dengan leading sector yang berbeda. Kerangka hukum penanganan pandemi Covid-19 saat ini memiliki
kelemahan, namun tidak gagal. Apabila situasi kembali normal, penetapan kedaruratan dan beberapa aturan
terkait perlu dicabut.
Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Aturan pelindungan data pribadi tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini menyebabkan
pengawasan atas pelaksanaan pelindungan data pribadi bersifat sektoral, pemerintah belum optimal melakukan
pelindungan data pribadi masyarakat, dan lembaga yang bertanggung jawab untuk melindungi data pribadi juga
masih belum terintegrasi. Artikel ini mengkaji urgensi pembentukan lembaga pengawas pelindungan data pribadi
dan bagaimana bentuk ideal lembaga tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji urgensi dan bentuk ideal
lembaga pengawas pelindungan data pribadi. Dalam penulisan artikel yang menggunakan metode pendekatan
yuridis normatif dan dianalisis secara kualitatif, disebutkan urgensi pembentukan lembaga pelindungan data
pribadi, yaitu kesatu, untuk memastikan aturan pelindungan data pribadi diimplementasikan; kedua berbagai
negara membentuk lembaga pengawas pelindungan data pribadi; ketiga, pengawasan dan penegakan hukum
pelindungan data pribadi saat ini masih lemah; keempat, banyaknya subjek hukum pelindungan data pribadi;
kelima, pengendali atau prosesor data pribadi yang banyak; dan keenam, masih kurangnya kesadaran masyarakat
akan pelindungan data pribadi. Bentuk ideal lembaga pengawas pelindungan data pribadi sebaiknya berupa
lembaga negara independen yang dibentuk dengan undang-undang dan bersifat auxalari state’s organ, yang
memiliki fungsi, tugas, dan kewenangan yang diatur dalam undang-undang. Pembentukan lembaga pengawas
pelindungan data pribadi ini perlu diatur dalam UU Pelindungan Data Pribadi.
Penulis: Novianti, S.H., M.H.
Abstrak:
Masuknya ratusan orang asing pasca diterbitkannya pemberlakuan pemberian bebas visa kunjungan menimbulkan
kekhawatiran banyak pihak akan terjadi peningkatan penyebaran Covid-19. Penulisan ini bertujuan untuk
mengetahui kebijakan selektif yang dilakukan oleh keimigrasian terkait pembatasan pemberian bebas visa
kunjungan pada masa pandemi Covid-19. Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang
dianalisis secara deskriptif-kualitatif dengan menggunakan data kepustakaan. Hasil penelitian mengungkapkan
pengaturan pembatasan pemberian bebas visa kunjungan dan izin tinggal bagi orang asing pada masa pandemi
Covid-19 dilakukan melalui beberapa penerbitan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Permenkumham) yakni Permenkumham Nomor 3, 7, 8, 11, dan 26 Tahun 2020, serta Permenkumham Nomor
27 Tahun 2021. Beberapa Permenkumham tersebut telah dilakukan beberapa kali penggantian dan terakhir
diberlakukan Permenkumham Nomor 34 Tahun 2021. Kebijakan selektif keimigrasian pada masa pandemi
Covid-19 yakni melakukan pembatasan pemberian bebas visa kunjungan dengan beberapa pengecualian
dan memberikan izin masuk kepada orang asing pada saat pemberlakuan pelaksanaan pembatasan kegiatan
masyarakat (PPKM). Untuk itu pemerintah perlu melakukan kebijakan yang ketat dengan melakukan skrining
dan karantina terhadap orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Penulis: Gurnita Ning Kusumawati
Abstrak:
Perlindungan terhadap pemanfaatan kekayaan laut serta peningkatan ekonomi maritim dan perikanan
Indonesia dilakukan melalui pencegahan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fishing) di zona Fishing
ground. Hal ini diejawantahkan dalam berbagai instrumen internasional, salah satunya the 2009 Agreement on
Port State Measures to Prevent, Deter, Eliminate IUU Fishing (PSMA 2009). Ketersediaan sumber daya manusia
dan teknologi dalam menyiapkan sarana dan penegakan hukum di wilayah laut zona ekonomi, menjadi
salah satu tantangan bagi Indonesia dalam upaya mewujudkan instrumen internasional PSMA 2009. Fokus
pembahasan dalam penulisan ini adalah: Pertama, upaya Indonesia dalam memaksimalkan PSMA 2009 dengan
dilakukannya penelitian terutama berkenaan dengan masalah unregulated Fishing di Pelabuhan Samudera Nizam
Zachman. Kedua, kepentingan dilakukannya reformulasi hukum positif Indonesia mengenai PSMA untuk
menanggulangi kegiatan IUU Fishing. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan
pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan perbandingan (comparative approach). Upaya Indonesia
dalam menerapkan PSMA 2009 secara konsisten dan berkelanjutan, sebagaimana yang dilakukan di Pelabuhan
Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta, dinilai dari beberapa indikator seperti fasilitasi Pelabuhan
Perikanan, penegakan hukum, dan sumber daya manusia pra dan pasca diberlakukannya PSMA 2009. Namun,
masih diperlukan adanya reformulasi kebijakan dalam hal penegakan hukum dan strategi optimalisasi sarana
prasarana di Pelabuhan Perikanan Indonesia.
Penulis: Rahmadi Indra Tektona
Abstrak:
Penggunaan sistem artificial intelligence (AI) dalam produksi merupakan hal biasa di era teknologi yang serba canggih.
Namun, ada keprihatinan yang mendalam bahwa teknologi AI akan menjadi tidak terkendali. Dengan teknologi canggih,
hanya masalah waktu sistem ini mulai menghasilkan penemuan yang luar biasa tanpa campur tangan manusia. Hal ini
menimbulkan pertanyaan terkait hak kekayaan intelektual karena tidak hanya mendisrupsi konsep hak cipta, tetapi juga
mengarah pada munculnya pertanyaan terkait relevansi UU Hak Cipta yang bagaimanapun dinilai tertinggal dalam
merespon perkembangan AI ini. Melalui pendekatan konseptual dan menggunakan metode penelitian hukum normatif,
doktrinal, dan studi perbandingan, serta menggunakan teknik analisis kualitatif, artikel ini berpendapat bahwa dibutuhkan
sebuah konseptualisasi dan redefinisi terhadap regulasi dan kerangka hukum terkait hak cipta serta menghadirkan alat
sosial dan hukum untuk mengontrol fungsi dan hasil sistem AI. Saran dalam artikel ini, Pemerintah harus sadar akan
urgensi besar pemberian insentif yang dibutuhkan oleh pemrogram dan pemilik AI untuk merangsang pengembangan dan
investasi masa depan di bidang AI. Untuk mengakomodasi karya yang dihasilkan AI, Pemerintah perlu mendesain ulang
UU Hak Cipta Indonesia agar mampu mengakomodasi masalah hak cipta, hak moral dan ekonomi, dan jangka waktu
perlindungan terhadap karya kreasi AI; serta mempertimbangkan untuk mengadopsi penggunaan konsep work made for hire.
Penulis: Fajar Sugianto
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk memahami konstelasi perkembangan hermeneutika sebagai metode penafsiran
hukum dalam memberikan hasil interpretasi teks hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Metode yang digunakan ialah yuridis normatif dengan pendekatan filsafat, pendekatan undang-undang,
dan pendekatan perbandingan dengan menggunakan data sekunder. Filsafat hermeneutika tidak hanya
mempersoalkan pemahaman suatu aturan hukum, tetapi apakah yang terjadi dengan memahami suatu aturan
hukum. Proses bagaimana memahami hukum dan proses intepretasi hukum menjadi fokus utama karena
keduanya akan membentuk pemahaman hukum yang menentukan langkah dan tindak lanjut seseorang
setelah memahami hukum. Penafsiran hukum terhadap teks undang-undang berbasis filsafat hermeneutika
memungkinkan hakim menggunakan kewenangannya untuk menambah makna teks undang-undang sebagai
wujud pembentukan dan penciptaan hukum. Hasilnya menunjukkan hermeneutika adalah benar sebagai
metode penafsiran hukum dalam memberikan hasil interpretasi teks hukum yang hakikatnya sebagai sarana dan
cara manusia untuk menafsirkan persoalan; dalam hal ini hakim membangun pemahaman dan memperoleh
hasil yang sahih dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Pengetahuan tentang adanya hermeneutika yang
telah terujui kebenarannya sehingga hasil penafsiran tersebut terukur dan teruji, sementara sebagai penggunaan
hermeneutika sebagai penafsiran sebagai suatu metode penafsiran hukum. Penguasaan hermeneutika sebaiknya
satu jenis dimana hal itu akan menghasilkan hasil yang baik.
Penulis: ARYO WASISTO, M.Si.
Abstrak:
The simultaneous scheme in the 2019 elections in Indonesia caused voter confusion, especially in the legislative elections. Citizens who are confused and disappointed when voting candidates characterize the declining quality of representation in electoral democracy. This study aims to determine the factors of confusion among citizens when they are in the voting booth. The case study research was conducted in Surabaya by interviewing 54
residents after the general election using recalling questions and in-depth interviews. The results show that the voter confusion factor is the effect of the complex design of the 2019 legislative election ballot paper, the lack of socialization about election procedures, and the difficulty of respondents understanding the simultaneous election models. The competency category shows that voter confusion is the respondents' low interest in political discussions and inadequate political knowledge. These two competence issues affect the quality of voters' political participation. Voter confusion in Surabaya generally motivates the phenomena of incorrect and misleading voting.
Penulis: Anggalih Bayu Muh. Kamim
Abstrak:
The Privileged Fund is used to financing five affairs, namely, spatial planning, land, culture, institutions and procedures for filling the positions with governor and vice governor. Various problems such as low participation, institutional problems and the interests of local authorities were identified as the cause of the Privileged Fund not being able to increase welfare. This study looks at the hegemonic perspective to show the consolidation of
the ruling class since the promulgation of the Privileged Law until its implementation has an impact on the inability of the community to control the Privileged Fund. This study is a qualitative research with a case
study approach. Data was collected through documentation techniques, in-depth interviews and Focus Group Discussions. Data analysis was carried out starting from extracting the problem to drawing conclusions. The
results of the study show that the mass action that emerged in support of the Privileged Law did not originate from the aspirations of the citizens, but rather a form of the success of the local ruling class in strengthening
the social base. The hegemony of the ruling class plays important roles in preventing the growth of critical awareness from the grassroots community and inhibits organic intellectuals from overseeing the Privileged Fund. Organic intellectuals have not been able to build alternative education and build movement alliances. The ruling class is able to mobilize resources and government structures to keep up its hegemony in the use of the Privileged Fund in the Special Region of Yogyakarta.
Penulis: Ramdhan Muhaimin
Abstrak:
To fight the Covid-19 pandemic, several countries, through their pharmaceutical companies, conduct research and production of vaccines. Efforts to invent a vaccine are racing with the rapid mutation of Covid-19. The World Health Organization with GAVI (Global Alliance for Vaccines and Immunization) and CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations) initiated a collaborative forum called Covid-19 Vaccine Global Access (COVAX). The goal
there is justice and equity in the distribution of vaccines throughout the world. Although strategic efforts to deal with the Covid-19 pandemic are carried out multilaterally through COVAX, many countries have also taken bilateral steps to get their vaccine needs. On the other hand, the Covid-19 vaccine diplomacy that took place in an anarchic international system showed three different cultural patterns, namely Hobbesian (conflictual), Lockean
(competitive), and Kantian (cooperative). By using a qualitative approach, this study analyzes three cultural patterns of anarchy in vaccine diplomacy. Data collection techniques in this research are based on library research. The theory used in this research is diplomacy and cultures of Anarchy in Constructivism approach. From this research, it was found that the COVAX is a representation of the cooperative pattern carried out by countries in overcoming the Covid-19 pandemic. But apart from that, there is also Hobbesian or conflictual diplomacy between the United States and China. Meanwhile, competitive diplomacy can be seen in the
competition among vaccine-producing countries.