Penulis: Aryojati Ardipandanto, S.IP.
Abstrak:
Hal ini menarik untuk disimak mengingat dalam tulisan ini dipaparkan implementasi UU KIP, khususnya dibeberapa daerah, masih banyak terjadi bahwa substansi atau ruh UU ini belum dipraktikkan dengan benar. Beberapa kasus menunjukkan sulitnya publik mendapatkan data-data atau dokumen dari Pemda, terutama data-data atau dokumen yang bersifat keuangan.
Penulis: Debora Sanur Lindawaty, S.Sos., M.Si.
Abstrak:
Euphoria masyarakat mengenai keterbukaan informasi publik masih sering kali bertabrakan dengan berbagai nilai-nilai yang dikembangkan dalam regulasi lainnya yang telah ada selama ini.
Penulis: Drs. Ahmad Budiman, M.Pd.
Abstrak:
Globalisasi informasi dan teknologi informasi telah berdampak luas pada seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk juga di Indonesia. Keterbukaan informasi publik yang selama ini dilakukan secara terpisah dan hakikat birokrasi dalam memberika pelayanan publik sebagai tupoksinya, kini harus beradaptasi dengan kondisi demikian. Prinsip efektif dan efisien yang selama ini dikedepankan dalam keterbukaan informasi publik, juga harus diarahkan pada peningkatan layanan publik dan perizinan yang berbasis layanan elektronik.
Penulis: Prianter Jaya Hairi, S.H., LLM.
Abstrak:
Dari perspektif hukum yang menganalisa Konsep Kesejahteraan Hakim Dalam RUU Jabatan Hakim dibahas mengenai konsep independensi hakim. Memberikan jaminan kesejahteraan hakim pada dasarnya merupakan upaya mewujudkan independensi personal hakim. Namun demikian, dalam mewujudkan independensi personal tersebut, perlu dibarengi pula dengan independensi kekuasaan kehakiman secara konstitusional. Kekuasaan kehakiman, secara organisasi, administrasi, dan finansial perlu terpisah dari kekuasaan lain. Menurut Penulis, RUU tentang Jabatan Hakim belum memberikan solusi dalam hal kemandirian kekuasaan yudikatif secara finansial dan struktural. Khusus untuk persoalan kemandirian finansial yudisial, memang tidak akan dapat diselesaikan pada level undang-undang, melainkan baru dapat diselesaikan apabila diatur secara tegas dalam Konstitusi Negara karena hal tersebut membutuhkan keputusan besar terkait masalah fundamental bernegara yakni dalam hal kewenangan penetapan anggaran negara. Oleh karena itu dianggap perlu untuk mengatur mengenai sistem kepangkatan hakim, status Aparatur Sipil Negara (ASN) hakim, Gaji hakim, jaminan kesejahteraan hakim, fasilitas program asuransi hakim, serta tujangan transportasi.
Penulis: Dian Cahyaningrum, S.H.. M.H.
Abstrak:
Dalam pembahasan mengenai Monopoli dalam Perspektif UU No. 13 Tahun 2016 dan UU No. 5 Tahun 1999, Penulis menganalisa mengenai ketentuan dalam UU No. 13 Tahun 2016 yang dapat mengakibatkan terjadinya monopoli. Dengan paten yang dimilikinya, pelaku bisnis dapat melakukan monopoli atas produk barang yang dipatenkannya. Hal ini disebabkan pelaku bisnis (pemilik paten)
memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan sendiri patennya,
memberikan ijin kepada pihak lain untuk melaksanakannya, dan
melarang pihak lain untuk melaksanakan paten tanpa
persetujuannya. Monopoli yang timbul karena paten tersebut tidak
bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999. Namun demikian, untuk
kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, Pemerintah dapat
memberikan lisensi wajib untuk melaksanakan paten tersebut atau
melaksanakan sendiri paten yang masih dilindungi. Hal ini sejalan
dengan demokrasi ekonomi yang terkandung dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dimana kesejahteraan dan kemakmuran rakyat menjadi tujuan
utama dari pelaksanaan kegiatan ekonomi yang ada di Indonesia.
Penulis: Venti Eka Satya, S.E., M.Si., Ak.
Abstrak:
Dari perspektif ekonomi, penulis mencoba menyoroti RUU
mengenai Sistem Pengawasan Intern Permerintah yang merupakan
pengembangan dari PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah. Sejak diberlakukannya PP No. 60
Tahun 2008 sampai sekarang, pelaksanaan SPIP di lingkungan
lembaga/instansi pemerintah dirasakan masih kurang efektif. Hal ini
dikarenakan banyaknya permasalahan dalam hal implementasi SPIP
tersebut. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya komitmen
pimpinan lembaga/instasi untuk melaksanakan SPIP ini. Salah satu
penyebab dari kurangnya komitmen ini adalah tidak adanya sanksi
hukum atas pelaksanan SPIP ini. Untuk itu Pemerintah bersama DPR
RI telah mencantumkan rencana penyusunan RUU tentang Sistem
Pengawasan Intern Pemerintah dalam Prolegnas 2015-2019. Penulis
mendorong untuk segera dibentuknya UU tersebut mengingat urgensinya dalam penegakan SPIP di organisasi pemerintahan demi tercapainya tujuan organisasi.
Penulis: Puteri Hikmawati, S.H., M.H.
Abstrak:
Secara umum pemenuhan hak-hak korban terorisme masih
jauh dari harapan. Oleh karena itu, perubahan terhadap UU No. 15
Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang perlu merumuskan
aturan dan langkah konkrit bagi pemenuhan hak-hak korban
terorisme.
Penulis: Marfuatul Latifah, S.H.I., Ll.M.
Abstrak:
Arah kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan
terorisme mengalami perubahan. Perubahan tersebut melalui jalur
penal dengan penyesuaian hukum pidana materiil dan formil serta
jalur nonpenal yang mengakui keberadaan BNPT sebagai lembaga penyelenggaran penanggulangan terorisme, Namun, kebijakan
hukum pidana melalui jalur nonpenal dalam RUU Perubahan atas UU
Pemberantasan Terorisme belum mengatur penanggulangan
kejahatan secara utuh, sebab ketentuan mengenai pencegahan dan
deradikalisasi yang selama ini dikategorikan sebagai pendekatan
soft approach belum ada dan belum ditentukannya standar
pelaksanaan deradikalisasi.
Penulis: Novianti, S.H., M.H.
Abstrak:
Politik hukum penanggulangan terorisme pasca bom Bali
sejalan dengan kebijakan politik hukum internasional, dan Indonesia
telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberla-kukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang
Pemberlakuan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada
Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002.
Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Terorisme merupakan sebuah kejahatan luar biasa yang
memerlukan penanganan luar biasa juga. Pengaturan dan penegakan
hukum merupakan salah satu bentuk upaya dalam rangka mencegah
tindak pidana terorisme. Akan tetapi pengaturan dan penegakan
terhadap pelaku tindak pidana terorisme ini memerlukan sebuah
upaya yang tidak melanggar HAM. Hak asasi baik itu dari korban
maupun pelaku merupakan hal yang mutlak dimiliki sebagai pribadi
lepas pribadi. Hukum pidana yang mengatur tentang sanksi dan juga
proses penegakan hukum merupakan pangkal dari adanya
penegakan hukum di Indonesia. Pemahaman terhadap tujuan dari
pemberian sanksi pidana perlu dilakukan oleh penegak hukum.
Pemberian sanksi pidana tersebut memerlukan penjelasan bahwa
ada tujuan dari pemberian sanksi tersebut.HAM memang melekat pada seluruh
pribadi masyarakat di Indonesia, akan tetapi dalam penanganan
tindak pidana terorisme juga perlu dilihat unsur-unsur lain seperti
keamanan, ketertiban, pembelaan diri, dan lain sebagainya sehingga
penegakan hukum bisa terlaksana dengan baik. Kepentingan,
keamanan, dan kenyamanan masyarakat merupakan tolok ukur
utama dalam penanganan tindak pidana terorisme.
Penulis: Elga Andina, S.Psi., M.Psi.
Abstrak:
Ancaman terorisme tentu berbeda efeknya pada semua
orang. Namun, semakin banyak orang yang merespons terorisme
dengan cara rasional dan konstruktif. Jika dulu prejudice terhadap
kelompok tertentu menjadi kambing hitam utama, sekarang
masyarakat sudah mampu memilah nilai agama dengan perilaku
individual. Informasi teror yang tersebar melalui media sosial tidak
hanya memberikan dampak psikologis negatif bagi korban, tapi juga
bagi mereka yang terpapar informasi aksi teror. Jika dibiarkan maka
masalah kejiwaan seperti kecemasan dan paranoia akan
menghambat individu untuk dapat aktivitas secara optimal
Penulis: Dr. Ari Mulianta Ginting, S.E., M.S.E.
Abstrak:
Pengaruh tingkat kemiskinan terhadap terorisme di Indonesia, menurut beliau tingkat kemiskinan yang terjadi menimbulkan kesenjangan, ketimpangan ekonomi yang pada akhirnya membawa dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa. Salah satu dampak lanjutan dari hal tersebut adalah timbulnya aksi terorisme di Indonesia
Penulis: Dewi Sendhikasari Dharmaningtias, S.IP., MPA
Abstrak:
ulisan Dewi Sendhikasari D. yang berjudul “Pembagian Kewenangan Pemerintahan dalam Pengelolaan Energi Nasional”, mengawali tulisan tema pertama buku ini. Penulis menyimpulkan bahwa Pengelolaan energi nasional menjadi salah satu kebijakan utama perekonomian Indonesia. Berbagai peraturan telah dibentuk untuk mendukung pelaksanaan program dan kegiatan dalam pengelolaan energi nasional. Sebagai salah satu urusan pemerintahan pilihan yang konkuren, urusan energi dan sumber daya mineral juga diserahkan ke daerah dan menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah. Namun demikian, dengan adanya perubahan UU Pemda No. 32 Tahun 2004 menjadi UU Pemda No. 23 Tahun 2014, terjadi beberapa perubahan pembagian kewenangan. Hal ini menimbulkan beberapa dampak, seperti adanya tumpang-tindih kewenangan antara UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda, kesiapan pemerintah pusat dan provinsi dalam mengambil alih beberapa kewenangan tersebut termasuk di dalamnya kelembagaan, aparatur, pendanaan, prasarana, dan dokumen. Hal tersebut juga dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah lanjutan, terlebih lagi belum tuntasnya penyiapan peraturan pelaksanaannya. Dengan demikian, perlu upaya bersama dari pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam menyiapkan masa transisi kewenangan tersebut dengan sebaik-baiknya, termasuk di dalamnya perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat terkait hal tersebut.
Penulis: Dewi Wuryandani, S.T., M.M.
Abstrak:
Dewi Wuryandani dalam karya tulisnya berjudul “Pengembangan EBT Dalam Mendukung Kebijakan Kedaulatan Energi”, menilai bahwa kemandirian pengelolaan energi, ketersediaan energi dan terpenuhinya kebutuhan sumber energi dalam negeri membutuhkan pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan. Selain itu, pemanfaatan energi juga perlu dilakukan secara efisien di semua sektor. Oleh karena itu, upaya mendorong pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) yang lebih besar dan secara optimal untuk penyediaan tenaga listrik, penelitian dan kajian kelayakan merupakan salah salah satu faktor penting. Dengan demikian, berbagai kajian ataupun studi pemanfaatan energi lain seperti energi nuklir dalam penyediaan tenaga listrik merupakan ruang kemungkinan yang harus terus didorong sehingga permasalahan ketersediaan pasokan energi untuk tenaga listrik akan dapat dikelola secara baik.
Penulis: Dr. Ariesy Tri Mauleny, S.Si., M.E.
Abstrak:
Tulisan berikutnya ditulis oleh Sdr. Ariesy Tri Mauleny, dengan judul “Kesiapan Indonesia Menuju Ketenagalistrikan Nasional Berkelanjutan”. Ketersediaan tenaga listrik yang memadai menjadi salah satu infrastruktur utama mendasar yang memiliki andil besar dalam mendukung pertumbuhan perekonomian dan mensejahterakan masyarakat. Sampai saat ini, sebagai negara kepulauan yang begitu luas, Indonesia belum mampu memenuhi pasokan listrik ke seluruh wilayah. Selain masih banyak daerah yang defisit listrik, pertumbuhan rasio elektrifikasi juga tidak merata di seluruh daerah. Pendapatan yang diperoleh PLN selaku kuasa pemegang usaha penyedia listrik, masih jauh dari beban usaha yang dikeluarkan dalam produksi dan pembelian listrik sehingga defisit keuangan terus menggerus keuangan negara melalui kebijakan subsidi. Kesiapan Indonesia menuju ketenagalistrikan nasional berkelanjutan sangat ditentukan dari kemampuannya mengubah mindset dan menyelesaikan permasalahan yang ada baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal lain menyangkut ambivalensi regulasi, keterbatasan dana, BPP yang lebih tinggi, ketidakpastian pasokan energi dan teknologi pengembangan listrik yang belum terarah. Untuk itu perlu upaya terencana, bertahap dan berkelanjutan yang dimulai dari restrukturisasi manajemen pusat sampai dengan regionalisasi sektor ketenagalistrikan nasional. Termasuk di dalamnya upaya peningkatan kualitas iklim investasi bagi infrastruktur ketenagalistrikan baik pembangkit, transmisi maupun distribusinya. Selain itu, pengembangkan riset dan teknologi listrik yang efisien yang berkolaborasi dengan industri nasional dengan memanfaatkan sumber daya utama di masing-masing wilayah dan mengedepankan sumber daya alternatif yang ramah lingkungan juga penting. Kehadiran regulasi yang memberikan insentif bagi konsumen yang melakukan penghematan dan mengapresiasi produsen yang menyediakan barang hemat energi pun perlu didorong implementasinya.
Penulis: Nidya Waras Sayekti, S.E., M.M.
Abstrak:
Nidya Waras Sayekti dalam karya tulisnya yang berjudul “Human Capital dan Perannya Dalam Mendukung Kemandirian Energi Nasional” telah menyoroti arti pentingnya aspek human capital dalam sektor energi nasional. Nidya menyimpulkan bahwa saat ini pemerintah sedang gencar melakukan penataan aspek fundamental dan inovasi di sektor energi dan sumber daya mineral sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu keputusan penting yang telah ditetapkan adalah penguatan sumber daya manusia dan organisasi. Pemerintah menyadari bahwa sumber daya manusia merupakan faktor pendukung dalam pengembangan sektor energi. Sumber daya manusia bukan lagi hanya sebagai sumber daya namun sebagai aset yang memiliki peran dalam pencapaian tujuan. Oleh karenanya, pemerintah melakukan kerjasama dengan berbagai perguruan tinggi serta mendirikan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (BPSDM-ESDM) yang menyelenggarakan pelatihan bagi internal dan akreditasi bagi lembaga eksternal dalam rangka penguatan human capital di sektor energi. Selain program-program yang telah dilaksanakan tersebut, kiranya pemerintah juga dapat melakukan perbaikan atas sistem dan tata kelola human capital (human capital management) yang telah ada sehingga Indonesia mampu mengelola sumber daya alam yang dimilikinya sebagai upaya mewujudkan kemandirian energi.
Penulis: Lisbet, S.Ip., M.Si.
Abstrak:
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lisbet memperlihatkan
bahwa sektor pariwisata mempunyai peran yang signifikan dalam
mengembangkan ekonomi kreatif di ASEAN. Ekonomi kreatif dapat
menjadi salah satu kunci bagi industri pariwisata dalam mencapai
sasarannya, seperti peningkatan jumlah kunjungan wisatawan
mancanegara, dan peningkatan jumlah penerimaan devisa dari
wisatawan mancanegara. Sebagai contoh semakin spesifik dan
kreatif produk-produk kerajinan (handicraft, kain tenun, ukiran)
yang ditawarkan oleh sebuah wilayah tujuan wisata, maka akan
semakin menarik calon wisatawan berkunjung ke daerah tersebut
dan membelinya sebagai souvenir
Penulis: Drs. Juli Panglima Saragih. M.M.
Abstrak:
Tulisan ini mencoba melakukan analisa terhadap dinamika, regulasi pengelolaan migas hingga membahas kompleksitas pengelolaan migas di Indonesia. Ditambah lagi pembahasan mengenai pengeolaan migas di Indonesia. Tulisan ini ditutup dengan paradigma baru dan tantangan ke depan pengelolaan migas di Indonesia
Penulis: Sony Hendra Permana, S.E., M.S.E.
Abstrak:
Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) adalah sokoguru
ekonomi masyarakat dengan populasi tinggi dan sebagian besar
bersifat informal, dengan sejumlah permasalahan khususnya di
bidang pemasaran produk yang dihasilkan. Analisis yang dilakukan
Sony Hendra Permana menunjukkan bahwa perkembangan
teknologi informasi dapat menjadi solusi bagi permasalahan
pemasaran dan distribusi produk yang dihadapi UMKM.
Perkembangan internet dan e-commerce melalui situs belanja online
berpotensi untuk memperluas jangkauan dan diversifikasi
pemasaran produk UMKM, baik untuk tujuan pemasaran dalam
negeri maupun ekspor. Dukungan pemerintah sangat dibutuhkan,
misalnya pemerintah daerah dapat menampilkan produk-produk
UMKM pada website resmi Pemda, sehingga dapat memberikan
jaminan bahwa produk tersebut memiliki keaslian dan berkualitas
baik. Pemerintah pusat dapat memberikan dukungan regulasi dan
infrastruktur yang mampu mendukung kemajuan teknologi TIK memperluas jangkauan, dan kecepatan akses internet di seluruh
Indonesia. Di samping itu, diperlukan upaya optimalisasi fungsi
Pos Indonesia sebagai perusahaan jasa pengiriman yang handal
dan aman untuk mendukung kegiatan pemasaran UMKM
Penulis: Mandala Harefa, S.E., M.Si.
Abstrak:
Pada usianya yang telah melebihi setengah abad, perkem- bangan koperasi masih jauh dari yang dinginkan oleh segenap rakyat. Kiprah koperasi yang diharapkan dapat berperan besar dalam perekonomian masih jauh dari harapan, hal ini tergambar dari sumbangan koperasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Kondisi sangat menyedihkan mengingat lembaga ini disebut sebagai pilar dan soko guru perekonomian nasional seharusnya mampu berperan penting dalam mendorong perekonomian dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian perkembangan selama ini belum mampu membangkitkan kembali kepercayaan masyarakat untuk menggunakan koperasi sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja, peningkatan pendapatan melalui koperasi yang lebih maju dalam inovasi.
Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.
Abstrak:
Globalisasi telah mengakibatkan terjadinya keterkaitan antarbangsa dan persaingan antarbangsa. Keterkaitan dan ketergantungan antarnegara sebagai akibat globalisasi akan menimbulkan persaingan yang akan memperketat daya saing antarnegara dalam hubungan perdagangan. Dengan globalisasi setiap negara berkepentingan untuk meningkatkan daya saing karena hanya negara yang memiliki daya saing produk dan SDM yang baik dan dengan dukungan infrastruktur, teknologi, sistem dan kualitas kerja yang efisien, dan budaya korporasi yang baik, yang akan mampu memanfaatkan dan menang dalam percaturan global.17 Sebagai negara dengan sistem perekonomian terbuka, pengaruh perekonomian dunia secara signifikan dapat memengaruhi kondisi perekonomian nasional.
Penulis: Achmad Sani Alhusain, S.E., M.A.
Abstrak:
Pemerintah terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat melalui indikator ratio elektrifikasi. Kondisi saat ini, sampai tahun 2015 ratio elektrifikasi listrik di Indonesia baru mencapai 88,3 persen. Melalui program pembangunan listrik
35.000 megawatt diharapkan ratio elektrifikasi pada tahun 2019 mencapai 97,3 persen dan 100 persen diharapkan dapat dicapai pada tahun 2020
Penulis: Rafika Sari, S.E., M.S.E.
Abstrak:
Secara umum, BUMN ditandai dengan rendahnya profitabilitas aset, yang disebabkan rendahnya utilisasi aset, dan akibat overinvestment pada masa lampau serta rendahnya laba yang dihasilkan atau bahkan merugi, antara lain akibat tingginya biaya produksi dan hutang perusahaan di masa lampau. Pemerintah perlu menetapkan pengukuran kinerja BUMN yang berbeda berdasarkan pemetaan fungsi BUMN apakah BUMN berorientasi mencari keuntungan, perintis, ataupun BUMN yang murni melakukan pelayanan publik. Berdasarkan ukuran tersebut, pemerintah dapat menerapkan mekanisme reward and punishment atas kinerja yang dicapai.
Penulis: Edmira Rivani, S.Si., M.Stat.
Abstrak:
Perubahan penggunaan dan kebutuhan konsumen dan bisnis serta munculnya ekonomi digital akan memiliki dampak yang signifikan pada kebutuhan jaringan infrastruktur di pasar maju dan berkembang. Pemerintah harus mendukung kebijakan yang mendorong investasi jaringan digital untuk memenuhi pertumbuhan perdagangan di masa depan, termasuk menghilangkan hambatan untuk menggelar teknologi berbiaya rendah seperti small cells, eksperimen dengan model harga komersial baru serta rasionalisasi peraturan yang lama.
Penulis: Sulasi Rongiyati, S.H., M.H.
Abstrak:
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah mengatur pedoman penyusunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Dalam undang-undang tersebut dengan tegas telah diatur asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya. Namun, dalam praktiknya banyak peraturan daerah yang ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya sehingga harus dicabut. Pada sisi lain peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah masih banyak yang cenderung memberatkan masyarakat maupun investor, sehingga berdampak kontraproduktif bagi daerah itu sendiri. Tulisan ini akan menganalisis peran legislasi dalam pembangunan ekonomi daerah.
Penulis: Drs. Juli Panglima Saragih. M.M.
Abstrak:
Walaupun sektor pertanian merupakan sektor ekonomi unggulan yang utama (leading sector) di Provinsi Sumatera Barat dengan share relative besar terhadap PDRB dari tahun ke tahun, namun pembangunan pertanian di Sumatera Barat perlu dioptimalkan di masa datang terutama dikaitkan dengan masuknya produk-produk pangan impor ke pasar domestik. Permasalahannya adalah bagaimana upaya yang dilakukan oleh pemda Provinsi Sumatera Barat dalam mengembangkan sektor ekonomi unggulan daerah guna meningkatkan perekonomian daerah? Sementara permasalahan yang dihadapi sektor ekonomi unggulan Provinsi Bali adalah kurang dikembangkannya sektor pertanian (perikanan, peternakan dan perkebunan) dalam 10 tahun terakhir (2003-2013). Permasalahannya adalah bagaimana pemda Provinsi Bali mengembangkan sektor ekonomi unggulan lainnya guna meningkatkan kontribusi terhadap PDB Bali di masa datang?
Penulis: Mandala Harefa, S.E., M.Si.
Abstrak:
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) apapun bentuknya diharapkan dapat berperan dalam pemberdayaan perekonomian, terutama setelah kebijakan desentralisasi fiskal. Dalam kegiatan perekonomian yang semakin tersebar akibat semakin banyaknya berbagai dana-dana yang dikucurkan melalui kebijakan keuangan pusat dan daerah, tentunya dibutuhkan lembaga intermediasi hingga tingkat kota dan kabupaten. Hal ini penting mengingat lembaga-lembaga keuangan seperti bank sangat sulit diakses oleh masyarakat desa dan usaha mikro. Untuk itu diperlukan lembaga keuangan mikro yang dekat dengan masyarakat agar dapat diakses. Namun demikian dalam hal ini perlu kesiapan LKM dan pemerintah dalam pelaksaanaan regulasi tersebut.
Penulis: Achmad Sani Alhusain, S.E., M.A.
Abstrak:
Tulisan ini di arahkan untuk mengkaji mengenai bagaimana kebijakan pemerataan pembangunan sebagai upaya meminimalisasi ketimpangan antar wilayah/daerah di Indonesia. Tulisan ini akan mengupas mengenai konsepsi mengapa perlu kebijakan pemerataan pembangunan, masalah dan tantangan pemerataan pembangunan dan yang terakhir mengupas mengenai kebijakan apa saja yang telah dan akan pemerintah lakukan terkait pemerataan pembangunan ini.
Penulis: Aryojati Ardipandanto, S.IP.
Abstrak:
Usulan mengenai dibentuknya Rumah Aspirasi oleh DPR diawali dengan wacana usulan diadakannya dana aspirasi. Beberapa tahun lalu, usulan ini sudah menggema. Kala itu, usulan tersebut tidak berhasil membuahkan kenyataan. Lalu kemudian dalam perjalanannya, dimunculkan lagi ide pembangunan rumah aspirasi. Wacana itu diperkirakan akan menggunakan uang Negara hingga 112 miliar rupiah. Dengan jumlah legislator 560 orang, maka diperkirakan akan mendapat jatah 200 juta rupiah per tahun per Anggota Dewan.
Penulis: Drs. Ahmad Budiman, M.Pd.
Abstrak:
Harapan masyarakat untuk mendapatkan kecepatan dalam menyampaikan permasalahannya ke DPR, sudah dapat dipercepat melalui sistem online pengaduan masyarakat. Hal ini tentunya sejalan dengan keinginan masyarakat untuk juga mendapatkan kecepatan tindak lanjut oleh DPR atas pengaduan tersebut. Permasalahannya adalah bagaimana keinginan DPR menjadi parlemen modern khususnya melalui kegiatan pengaduan masyarakat secara online dapat efektif dilaksanakan, terutama bila dikaitkan dengan jumlah pengaduan yang masuk dengan jumlah tindaklanjut pengaduan masyarakat?
Penulis: Denico Doly, S.H., M.Kn.
Abstrak:
Pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya UU harusnya dibentuk untuk kebutuhan dan keinginan masyarakat. Adapun pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan diperuntukkan bagi masyarakat agar dapat menjalankan perbuatan hukum tertentu dengan baik. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan dalam tulisan ini yaitu bagaimana pembentukan UU yang responsif?
Penulis: Drs. Prayudi, M.Si.
Abstrak:
Konstruksi politik regulasi desa yang kuat secara otonom dengan tetap meletakkan relasi kelembagaannya sebagai bagian utuh NKRI, menjadi substansi politik pentimg bagi hubungan state-society terhadap penguatan demokrasi partisipatoris sipil. Persoalannya adalah, bagaimana nilai-nilai politik sipil demokrasi partisipatoris yang ditawarkan oleh UU Desa? Hal-hal apa saja yang diperkirakan dapat menjadi kendala penghambat dan sebaliknya peluang kreatif bagi hadirnya nilai-nilai demokrasi partisipatoris tersebut nantinya dapat terjadi di lapangan?
Penulis: Yulia Indahri, S.Pd., M.A.
Abstrak:
Parlemen merupakan salah satu lembaga penyelenggara negara yang memiliki peran penting dalam perumusan peraturan, kebijakan, penyediaan anggaran dan memfasilitasi pengembangan program penanggulangan kemiskinan. Namun sayangnya hingga saat ini, penanggulangan kemiskinan di Indonesia masih berada di bawah koordinasi pemerintah dengan susunan keanggotaan tim penanggulangan yang mayoritas berasal dari unsur pemerintah. Padahal UNDP sebagai lembaga PBB di bidang pembangunan telah mendorong keterlibatan parlemen dalam penanggulangan kemiskinan sejak 2002. Bahkan Bank Dunia, sejak tahun 2000 secara global telah mendukung keikutsertaan parlemen sebagai pihak yang melaksanakan advokasi dalam penanggulangan kemiskinan.
Penulis: Anih Sri Suryani, S.Si., M.T.
Abstrak:
Kajian ini menggunakan metode studi kepustakaan dengan mengumpulkan data sekunder dari berbagai sumber yang kemudian melakukan analisis desriptif data yang dipaparkan secara detail. Sumber emisi dibatasi pada emisi gas rumah kaca yang berasal dari sektor transportasi darat khususnya kendaraan bermotor berjenis mobil dan motor. Analisis terhadap peran parlemen baik dalam negeri maupun dalam skala internasional dilakukan dengan pendekatan manajemen lingkungan yang merupakan bagian dari sistem manajemen keseluruhan yang berfungsi menjaga dan mencapai sasaran kebijakan lingkungan dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan.
Penulis: Rafika Sari, S.E., M.S.E.
Abstrak:
Dibandingkan dengan negara-negara Asia dan Eropa, ketahanan pangan di Indonesia tergolong baik bila mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Global Food Security Index tahun 2015. Kendati demikian, Indonesia masih tetap perlu bersikap protektif terhadap impor bahan pangan karena kecenderungan terus meningkatnya konsumsi padi-padian di Indonesia. Misalnya sampai akhir Januari 2014 Indonesia telah mengimpor beras sebesar 353,485 ton atau setara dengan USD183,3 juta.
Penulis: Rahmi Yuningsih, S.K.M., M.K.M.
Abstrak:
Dibandingkan dengan negara-negara Asia dan Eropa, ketahanan pangan di Indonesia tergolong baik bila mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Global Food Security Index tahun 2015. Kendati demikian, Indonesia masih tetap perlu bersikap protektif terhadap impor bahan pangan karena kecenderungan terus meningkatnya konsumsi padi-padian di Indonesia. Misalnya sampai akhir Januari 2014 Indonesia telah mengimpor beras sebesar 353,485 ton atau setara dengan USD183,3 juta.